BPK Jangan Jadi Mesin Pembunuh Perusahaan Pers

Barsela24news.com


BANDA ACEH (25/5/2023) – Ketua Umum Asosiasi Media Siber Aceh (AMSA), Syarbaini Oesman, mengatakan, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Perwakilan Aceh terhadap belanja publikasi pada DPRK Banda Aceh tahun 2022 mempunyai kekeliruan mendasar. Dalam temuannya, BPK tidak membedakan antara produk jurnalistik dengan iklan, advertorial, pariwara atau tulisan berbayar.
 
Syarbaini mengemukakan hal itu setelah membaca pemberitaan sebuah media yang menyebut BPK perwakilan Aceh telah meminta Pj Wali Kota Banda Aceh untuk menetapkan peraturan terkait pedoman kerja sama publikasi antara Pemko dengan media massa. BPK juga merekomendasikan agar Pj walikota memerintahkan Sekretaris DPRK supaya mempedomani ketentuan dalam pelaksanaan anggaran. Artinya, Sekretaris DPRK tidak dibenarkan membayar biaya publikasi untuk media yang menurut BPK tidak memenuhi syarat.  
 
Menurut Syarbaini, BPK telah membuat kesimpulan yang keliru akibat tidak memahami substansi permasalahan. Sehingga, rekomendasi atas kasus yang disimpulkan sebagai suatu pelanggaran di Pemko Banda Aceh itu semestinya juga tidak boleh dilaksanakan, karena cacat hukum.  
 
Celakanya, kata Syarbaini, kesimpulan yang jelas-jelas keliru itu kemudian ikut disebarluaskan oleh media yang sama-sama tidak paham substansi masalah. Akhirnya, jadi salah kaprah. Yang dikhawatirkan, kemudian, rekomendasi yang salah itu dijadikan rujukan atau pedoman oleh pihak SKPD karena dokumen tersebut merupakan produk BPK. 
 
Dalam LHP itu, kata Syarbaini, BPK menggunakan Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/X/2019 tentang Standar Perusahaan Pers sebagai dasar pembenaran untuk melarang Sekretariat DPRK Banda Aceh membayar biaya publikasi terhadap sejumlah media. Alasannya, karena Pemred media tersebut tidak memiliki kartu UKW Utama.  
 
Kata Syarbaini, BPK tidak paham, bahwa persyaratan kompetensi Utama bagi Pemred itu adalah kebijakan Dewan Pers terkait verifikasi media. Ini lebih terkait dengan tugas-tugas jurnalistik. 

“Kebijakan ini bertujuan dalam rangka pendataan yang menjadi salah satu tugas Dewan Pers seperti diatur dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999,” ujarnya. 
 
Kebijakan verifikasi yang di internal Dewan Pers itu sendiri masih jadi perdebatan, sambungnya, tidak dimaksudkan untuk membuat kelas atau tipe media, apalagi mengelompokkan sebuah media profesional atau tidak. 

"Tidak ada jaminan sebuah media dengan Pemred UKW utama lebih bagus dibanding tidak UKW utama. Bahkan, banyak juga yang Pemrednya pemegang kartu UKW utama tidak mampu menulis dengan baik. Jadi, UKW itu belum bisa dijadikan ukuran bagus tidaknya sebuah media,” tegas kuli tinta yang biasa dipanggil Pak Ben itu. 
 
Dia melanjutkan, yang harus dipahami oleh auditor BPK adalah perbedaan antara produk jurnalistik dengan iklan/advertorial/tulisan berbayar. Yang harus dibayar itu bukan karya jurnalistik, tapi biaya proses pembuatan dan penayangan iklan atau advertorial di sejumlah media.

"Nah, yang harus dibayar itu adalah jasa penayangan iklan, bukan berita. Karya jurnalisitik tidak boleh dibayar. Kalau itu dilakukan melanggar undang-undang,” kata dia. 
 
Memang, kata ketua AMSA, pascabooming anggaran publikasi yang bersumber dari dana Pokir anggota Dewan, terjadi kerancuan pemahaman di kalangan SKPD, bahkan juga di kalangan awak media sendiri dalam menyikapi aktivitas penggarapan pariwara atau tulisan berbayar.  
 
Dikatakan, hampir semua SKPD menyerahkan sepenuhnya penggarapan penulisan artikel berbayar kepada awak media.

"Padahal itu tugas mereka. Karena, mereka-lah yang mengerti apa saja yang perlu dipublikasikan terkait program dan kegiatan kantor tersebut,” ucapnya. 
 
Dia melanjutkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa rata-rata SKPD tidak mampu melaksanakan tugas menyiapkan bahan publikasi. Maka, pekerjaan tersebut kemudian diserahkan kepada awak media.

 “Jadi, dalam konteks tersebut, pihak media tidak hanya penyedia space iklan. Tapi, juga sekalian merangkap sebagai “tukang” yang menyiapkan konten publikasi sebuah SKPD,” kata Syarbaini. 
 
Makanya, sambung ketua AMSA, auditor BPK harus paham. Sebenarnya yang dibayar itu bukan hanya biaya penayangan iklan tapi juga ongkos menyiapkan konten yang tidak mampu dilakukan oleh SKPD. 

“Jadi, itu yang harus dibayar. Kenapa mempersoalkan kartu UKW. Logikanya tidak nyambung,” tandas Pak Ben. 
 
Untuk memudahkan pemahaman, ia memberi contoh seseorang yang ingin mempromosikan sebuah mobil bekas. Si pemilik akan membawa foto mobil dengan segala data spesifikasinya untuk dipasang sebagai iklan di koran atau media lainnya.  
 
Pemilik mobil, sebut Syarbaini, tentu saja bebas memilih media mana saja yang akan digunakan untuk mempromosikan barang yang akan dijual tersebut. 

“Maka yang harus dilihat adalah seberapa banyak orang yang akan liat produk yang dipamerkan di media tersebut. Bukan kartu UKW pemred-nya. Karena, kalau pun punya kartu utama tapi medianya tidak ada yang baca, akan sia-sia uang yang dikeluarkan untuk membayar media tersebut,” ujarnya. 
 
Nah, untuk menegaskan bahwa produk itu adalah iklan, bukan karya jurnalistik, maka harus dicantumkan kode “Adv” di bagian sekitar iklan. Demikian pula untuk iklan dalam bentuk tulisan. Seyogiyanya juga mencantumkan kata “pariwara” untuk membedakannya dengan produk jurnalistik. 
 
Maka dalam konteks itu, lanjut Syarbaini, tidak ada korelasi antara kartu UKW dengan biaya proses penggarapan/pembuatan/ hingga penayangan iklan. Kalau mau lebih fair sebenarnya, kata dia, lihat saja seberapa besar jumlah pembaca sebuah media. Sehingga, publikasi yang dilakukan dengan biaya pemerintah itu memberi hasil yang maksimal. 
 
Kalau soal legalitas, lanjutnya, syarat sebuah media bukan kartu UKW Utama. “Yang dipersyaratkan dalam Undang-undang, sebuah perusahaan pers harus berbadan hukum. Itu saja,” tegasnya.  
 
Syarbaini meminta pemerintah dan berbagai pihak, termasuk BPK, agar memberi sedikit ruang kepada media-media kecil untuk tumbuh dan bangkit. Karena, perusahaanperusahaan media sebenarnya memiliki peran penting dalam membantu tugas pemerintah, yakni ikut membuka lapangan kerja. 

“Jadi, jangan dipersulit. Semestinya mereka diberi semacam insentif, seperti kemudahan regulasi dalam menjalankan usaha,” pungkasnya.[] 
 
 
 

Tags