Budaya Politik Parokial Pada Masyarakat Suku Gayo di Aceh Tengah

Barsela24news.com


Oleh : DARAMELA MB (2110103010016) Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik-Universitas Syiah Kuala

Barsela24news.com - Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya.
Budaya Politik Indonesia saat ini adalah Campuran dari Parokial, Kaula, dan Partisipan, dari segi budaya Politik Partisipan, Semua ciri- cirinya telah terjadi di Indonesia dan ciri-ciri budaya politik Parokial juga ada yang memenuhi yaitu seperti berlangsungnya pada masyarakat tradisional dan pada budaya politik kaula ada yang memenuhi seperti warga menyadari sepenuhnya otoritas pemerintah.
Budaya politik di Indonesia bermacam-macam karena masyarakat Indonesia bersifat heterogen (majemuk). Oleh karena itu, terdapat perbedaan budaya (termasuk budaya politik) yang kadang-kadang cukup besar di antara suku-suku bangsa di Indonesia.
Lebih detailnya dalam tulisan ini akan membahas tentang Budaya Politik Parokial.
Budaya Politik Apatis (Parokial) ini terdapat pada masyarakat yang masih tradisional seperti di desa-desa terpencil atau masyarakat suku pedalaman. Pada budaya masyarakat Parokial, perhatian dan minat terhadap objek-objek politik yang luas sangat kecil sekali bahkan tidak ada, kecuali dalam batas tertentu di tempat mereka tinggal. Salah satu daerah yang menganut budaya politik ini adalah suku gayo.
Gayo adalah nama sebuah suku berpopulasi kecil yang mendiami sebuah wilayah bernama Tanoh Gayo yang terletak di pedalaman Aceh. Gayo adalah salah satu dari sekian suku minoritas di provinsi Aceh. Populasi suku bangsa gayo berjumlah 11,46 % dari total 5 juta penduduk aceh, yang umumnya tersebar di empat kabupaten, yaitu kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Kabupaten Gayo Lues, dan sebagian kecil di Kabupaten Aceh Tamiang. Secara budaya suku bangsa Gayo juga memiliki sistem pemerintahannya tersendiri, yaitu suatu sistem yang berdasarkan Hukum Adat, dan berlandaskan hukum Islam.
Sistem kepemimpinan/pemerintahan suku Gayo terangkum dalam pranata Sarak Opat, yang mempunyai empat unsur kepemimpinan, Reje (raja), Imem (imam), Petue (petua), dan Rayat. Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut gampong. Setiap gampong dikepalai oleh seorang gecik.
Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat. Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok belah (klan).
Budaya Politik Apatis (Parokial) dapat dilihat dari kurangnya partisipasi warga negara terhadap kegiatan bidang ini, kurangnya partisipasi ini disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah mereka hidup di pedalaman atau daerah terpencil. Suku ataupun masyarakat yang tinggal di pedalaman cenderung tidak peduli dengan dunia luar dan tidak memiliki minat terhadap objek-objek politik.
Hal tersebut menyebabkan kurangnya partisipasi masyarakat terhadap kegiatan politik maupun kebijakan pemerintah lainnya, serta minimya informasi yang tersampaikan dikarenakan permukiman mereka yang sulit dijangkau, seperti di daerah pegunungan, pesisir maupun desa terpencil lainnya.
Faktor lain yang menyebabkan kurangnya partisipasi masyarakat adalah sarana dan prasarana. Biasanya terjadi pada kelompok masyarakat yang tradisional atau berada di wilayah terpencil, sehingga sarana untuk ikut berpartisipasi pun kurang memadai. Parokial ditandai dengan kurang tertariknya warga mengenai masalah politik.
Masyarakat di wilayah terpencil menjadi apatis karena mereka beranggapan bahwa apapun yang terjadi di dunia luar, baik itu kebijakan maupun kekuasaan pemerintah, tidak akan berpengaruh pada kehidupan mereka, dikarenakan latar belakang mereka yang hanya masyarakat biasa yang tidak ada kaitannya dengan pemerintah ataupun kenegaraan.
Selain faktor yang disebutkan diatas ada juga faktor lain yang mempengaruhi kurangnya partisipasi masyarakat, yaitu faktor ekonomi dan rendahnya pendidikan masyarakat di suku pedalaman. Rendahnya pendidikan di kawasan terpencil menyebabkan keterbatasan perekonomian masyarakat.

Biasanya masyarakat yang tinggal di desa terpencil hanya berprofesi sebagai petani dan pekebun, jarang sekali ang bekerja di instansi pemerintahan, kecuali warga yang bermigrasi ke Kota. Keterbatasan ekonomi tersebut menyebabkan kurangnya pastisipasi masyarakat. Masyarakat cenderung menutup diri dengan dunia luar dan menunjukkan sikap ketidakpedulian serta ketidaktertarikan bahkan menarik diri dari kawasan politik.
Masyarakat yang tinggal didesa terpencil juga jarang sekali berhadapan dengan sistem ini, kesadaran warga mengenai kewenangan serta kekuasaann negara sangat rendah. Jadi, intinya budaya politik ini merupakan budaya politik dimana masyarakatnya tidak aktif berpartisipasi atau bahkan menutup diri dari dunia politik.

Sebagaimana desa daerah terpencil lainnya, masyarakat Gayo memiliki kearifan lokal dan tradisi leluhur yang diturunkan secara turun temurun. Berdasarkan karakteristik masyarakat suku gayo merupakan minoritas dan masih sarat dengan tradisi serta hukum Islam. Selain itu suku gayo terdapat di desa terpencil di pedalaman Aceh. Hal ini berkesinambungan dengan budaya politik Parokial yang dimaksud. Masyarakat suku gayo juga memiliki sistem pemerintahannya sendiri, yang artinya bahwa mereka tidak memiliki perhatian dan minat terhadap politik-politik luar.
Tags