Jakarta - Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan penuh dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. Pertumbuhan dan pembangunan wilayah yang kurang memperhatikan keseimbangan bagi kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah mengakibatkan kesulitan masyarakat untuk memperoleh rumah yang layak dan terjangkau. Ide keterjangkauan perumahan adalah beralih dari program perumahan sebagai bagian dari program korektif sosial dan menuju integrasi sistem penyediaan perumahan ke dalam mekanisme pasar.
Dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Jum'at (28/7), persoalan penting lainnya adalah tidak adanya kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pembangunan rumah khusus Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Keterbatasan kewenangan dan program menjadi faktor determinan yang berimplikasi pada faktor kelembagaan, pembiayaan dan program pembangunan perumahan,” demikian pernyataan pembuka tersebut disampaikan Dr. Ir. Zanariah, M.Si pada sidang promosi Doktor dalam bidang Ilmu Administrasi, Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Senin lalu di Auditorium EDISI 2020 Gedung M FIA UI.
Selanjutnya, Promovendus menjelaskan observasi awal penelitiannya bahwa pada saat melakukan pra-riset, peneliti melihat kondisi awal, didapatkan keterangan bahwa dinamika penyelenggaraan perumahan dan permukiman dipengaruhi tiga faktor utama, antara lain pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan ketersediaan lahan.
Meningkatnya laju pertambahan penduduk yang diikuti pertumbuhan ekonomi, menuntut tersedianya lahan, juga kebutuhan penyediaan perumahan dan permukiman. Kondisi ini memicu timbulnya aneka masalah sekaligus tantangan dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa implikasi terhadap berbagai dimensi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Implikasi tersebut antara lain perubahan dalam hubungan penataan kelembagaan organisasi perangkat daerah. Aspek kelembagaan sebagai salah satu reformasi administrasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah saat ini dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
Keberhasilan pembangunan perumahan dalam suatu wilayah, baik diperkotaan maupun di perdesaan, tidak terlepas dari peran pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing, serta menciptakan suatu suasana yang kondusif bagi terciptanya keberhasilan itu. Masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan memegang peran penting setiap program pembangunan yang dijalankan.
"Dengan keterbatasan kewenangan pemerintah daerah dalam pembangunan perumahan MBR maka pemerintah pusat tidak akan dapat mengoptimalisasikan pembangunan perumahan MBR serta menurunkan angka backlog," ujar Zanariah yang kini menjabat Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah IV Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri.
Sehingga diperlukan alternatif lain dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan pembangunan perumahan bagi MBR yang selanjutnya relevan dan penting dilakukan penelitian mengenai “Analisis Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Dalam Fasilitasi Penyediaan Perumahan Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan”, berdasarkan perspektif Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik.
Lebih lanjut, Promovendus memberikan kesimpulan penelitian serta kontribusi dalam pengembangan teori dan konsep pengembangan kapasitas kelembagaan dalam penyelenggaraan penyediaan dan pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasian rendah (MBR) bahwa konsep Milton J. Esman dalam penelitian ini dapat diterapkan dari perspektif kewenangan dan kelembagaan bahwa struktur dan program tanpa kewenangan dan sumber daya tidak akan dapat berjalan maksimal.
Sehingga dalam pengembangan kapasitas kelembagaan ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan, yaitu:
1. Faktor penyebab kurang optimalnya kapasitas kelembagaan pemerintah dalam memfasilitasi penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah adalah 4 (empat) kelompok faktor hasil refleksi yaitu (a) faktor organisasional, (b) faktor teknis perumahan dan kawasan permukiman Kota Palembang, (c) faktor sosial dan ekonomi, dan (d) faktor pelayanan perizinan dan infrastruktur sarana dan prasarana.
2. Pengembangan kapasitas kelembagaan pemerintah yang tepat dalam memfasilitasi penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah berbasis pada kondisi eksisting yang berdasarkan kriteria fisik dan nonfisik dan transformasi pengembangan kapasitas pembiayaan, sistem kebijakan, organisasi dan individu, sehingga pengembangan kapasitas yang tepat selain dibutuhkan kepemimpinan, doktrin, program, sumber-sumber daya dan struktur internal, juga diperlukan jaringan kemitraan (networking) antara pemerintah, pemerintah daerah, pengembang (developer) dan lembaga keuangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan bagi MBR.
Jaringan kemitraan (networking) ini secara kelembagaan memiliki posisi dan kapasitas tersendiri, namun kewenangan tetap berada pada pemerintah dalam hal memperkuat regulasi dan strategi yang komprehensif untuk memfasilitasi pembangunan perumahan bagi MBR, sehingga capaian target pembangunan perumahan bagi MBR dapat terpenuhi dengan alternatif pembiayaan melalui kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPBU).(**)