Pendidikan Berkualitas Tanpa Kekerasan Melalui Permendikbudristek PPKSP

Barsela24news.com


Jakarta, – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menerbitkan Peraturan Menteri (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Peraturan yang memperbarui Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 itu hadir untuk melindungi para peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, serta warga satuan pendidikan lainnya termasuk kelompok disabilitas dari kekerasan, serta untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif, berkebinekaan, dan aman bagi semua.

Pelaksana Tugas (Plt.) Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek, Praptono, mengatakan bahwa hal yang melatarbelakangi diterbitkannya permendikbudristek tersebut adalah maraknya kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan, baik yang dilakukan antarsiswa, guru ke siswa, siswa ke guru, orang tua ke guru, bahkan antarsatuan pendidikan. Hal ini terlihat dari hasil asesmen nasional tahun 2021, bahwa 24,4 persen peserta didik berpotensi untuk mengalami insiden perundungan dan 22,4 persen peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual dalam satuan pendidikan.

“Hal ini harus ditangani dengan serius karena kekerasan yang dialami oleh anak dalam masa pertumbuhan akan meninggalkan trauma sangat panjang dan mendalam yang dapat mengganggu proses belajar. Dampak ini kemudian tentunya akan menghambat tercapainya SDM Indonesia yang berkualitas di masa depan,” ujar Praptono pada webinar Silaturahmi Merdeka Belajar (SMB), dengan tema “Pendidikan Berkualitas Tanpa Kekerasan melalui Permendikbudristek PPKSP”, pada Kamis (24/8/2023).

Praptono menjelaskan bahwa Permendikbudristek PPKSP berperan sebagai media untuk pencegahan dan penanganan kekerasan karena menjadi payung hukum yang komprehensif untuk pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Dalam Permendikbudristek PPKSP setidaknya ada tiga area yang menjadi kunci untuk dilakukan. Pertama adalah penguatan tata kelola.

“Dalam hal ini, kami mendorong setiap satuan pendidikan membentuk Tim Pencegahan dan Perlindungan Kekerasan (TPPK). Kemudian, di pemda pun harus ada satgas-satgas sehingga segala mekanisme kerja akan menjadi sangat jelas. Kedua, dari sisi edukasi, kita mengadakan sosialisasi untuk membangun kesadaran dan pemahaman kepada para siswa, guru, dan orang tua. Ketiga, terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana,” katanya.

Dalam webinar tersebut hadir pula tiga narasumber lain yakni Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI); Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psikolog Anak dan Remaja; dan Abdul Rahmat, Guru Sosok Inspiratif 2023, SDN 011 Balikpapan Tengah.

Sejalan dengan pemaparan Praptono, Retno Listyarti menyampaikan kekhawatirannya terhadap fenomena kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Ia mengatakan, dalam catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), pada tahun 2023 terhitung Januari hingga Juli, kekerasan perundungan mencapai angka 25, yang jika dirata-ratakan berarti setiap minggu terjadi kekerasan.

“Belum lagi kekerasan seksual yang mencapai angka lebih tinggi, juga kasus-kasus kekerasan lain yang tidak terhitung jumlahnya karena banyak pula pihak yang tidak melapor. Jika dibiarkan, hal ini sangat berbahaya karena akan mengganggu tumbuh kembang anak, baik itu anak sebagai korban, saksi, atau pun pelaku kekerasan,” ungkapnya.

Dari sisi psikologi, Vera menyampaikan tentang dampak dari kekerasan. Ia mengatakan, kekerasan dalam satuan pendidikan melibatkan tiga peran, yakni pelaku, korban, dan saksi. Namun dampak kekerasan yang sering dibahas hanya pada sisi korbannya, padahal sebenarnya dua pihak lain juga terkena dampak yang serius. Dari sisi korban, karena tidak bisa melawan dan kekerasan terjadi terus-menerus, maka akan timbul rasa tidak berdaya, tidak berharga, dan tidak percaya lagi kepada orang lain karena tidak ada yang bisa membantunya. Hal itu pun akhirnya mengganggu proses belajar sehingga prestasinya menurun. Lalu, jika berlarut-larut, kekerasan pun akan menimbulkan rasa stress bahkan depresi. Lebih berbahaya lagi adalah ketika korban merasa kekerasan adalah hal yang wajar dilakukan, sehingga di kemudian hari ia bisa berubah menjadi pelaku kekerasan.

“Jika hal ini tidak tertangani dengan baik, maka keluarga korban pun akan terpengaruh, yakni merasa sekolah tidak dapat dipercaya. Dari sisi pelaku, jika ia dibiarkan, maka ia akan menganggap kekerasan sebagai media untuk mendapatkan hal yang ia mau, untuk mendapatkan pengaruh, untuk dapat mengontrol lingkungan, dan sebagainya. Hal itu akan terbawa sampai ia dewasa, dan dapat menjurus ke kriminalitas. Lalu, saksi juga dapat mengalami dampak, yakni trauma karena melihat kekerasan; merasa takut dan cemas; menjadi pelaku jika tidak ada tindakan; atau bahkan menjadi apatis jika laporannya tidak ditanggapi,” tutur Vera.

Menanggapi pentingnya pencegahan dan penanggulangan terhadap kekerasan, Retno dan Vera pun menyampaikan harapan dan apresiasinya terhadap Permendikbudristek PPKSP. “Kami sangat mengapresiasi Permendikbudristek PPKSP ini karena mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan secara lebih jelas, lengkap dan menyeluruh,” ucap Retno.

Sejalan dengan hal itu, Vera pun menyampaikan pandangannya terhadap Permendikbudristek PPKSP. Menurutnya, dari sisi psikologis, permendikbudristek ini lebih komprehensif, lebih luas cakupannya, dan lebih mendetail sehingga tidak hanya melindungi korban, melainkan semua pihak terkait termasuk saksi dan pelaku. Dalam permendikbudristek ini saksi pun diperhatikan karena memiliki posisi yang signifikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan.

“Dalam hal ini terdapat pembahasan mendetail tentang perlindungan bagi mereka, cara melapor, hingga cara penanganannya. Selain itu, peraturan ini juga membahas penanganan terhadap pelaku. Jika selama ini pelaku dikeluarkan dari sekolah dan tidak diperhatikan masa depannya, namun melalui peraturan ini, pelaku yang mungkin juga masih anak-anak/siswa pun tidak kehilangan hak pendidikannya, sehingga kita tidak menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah baru,” ujar Vera.

Abdul, Guru Sosok Inspiratif 2023 dari SDN 011 Balikpapan Tengah, merasakan langsung dampak baik dari Permendikbudristek PPKSP. Menurutnya, permendikbudristek tersebut merinci secara jelas mengenai beragam bentuk kekerasan. Selain itu, mekanisme tentang penanganan dan pencegahan kekerasan juga diatur dengan terperinci. Peraturan ini juga semakin mempermudah guru di lapangan untuk melindungi seluruh warga satuan pendidikan.

“Beberapa hal yang telah kami lakukan misalnya kami sebagai pendidik dan orang tua turut berperan aktif dengan membentuk Tim Pencegahan dan Perlindungan Kekerasan (TPPK) di satuan pendidikan. Hal ini akan mendorong upaya nyata kami dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang bebas dari kekerasan, sehingga proses belajar mengajar yang nyaman dan aman dapat terwujud dengan baik,” tutur Abdul.

Sejalan dengan hal tersebut, Vera pun menambahkan beberapa upaya yang dapat dilakukan orang tua di rumah untuk mencegah kekerasan. Menurutnya, banyak hal yang dapat dilakukan oleh orang tua di rumah supaya anak tidak menjadi korban, pelaku, atau saksi yang tidak peduli. Pertama, komunikasi rutin dengan anak 10–15 menit sehari tentang hal-hal yang menciptakan percakapan yang hangat, sehingga anak akan mengatakan sendiri tentang hal-hal yang harus kita tahu. Kedua, mengevaluasi dan memperbaiki pengasuhan anak, jangan sampai terdapat pola asuh yang menggunakan kekerasan. Ketiga, mengevaluasi dan memperbaiki apa yang dilihat anak. “Jangan sampai anak menyaksikan apa yang tidak seharusnya dilihat,” tegasnya. Lalu keempat, mengajarkan dan mencontohkan cara menghadapi konflik yang baik kepada anak, dan yang kelima adalah asah empati.

Retno pun memberikan kiat untuk guru dan orang tua saat menghadapi kesalahan anak. Ia menuturkan, ketika terjadi kesalahan oleh anak, guru atau orang tua jangan menanggapinya dengan hukuman yang berpotensi kekerasan, namun harus melihat lebih dalam dan penting untuk menerapkan disiplin positif. “Kita harus bersama-sama memutus mata rantai kekerasan dengan cara menciptakan lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah yang bebas dari kekerasan,” ujarnya. Vera pun dengan tegas menyatakan pentingnya kenyamanan dan keamanan peserta didik. “Sekolah adalah rumah kedua bagi anak kita, maka sekolah harus menjadi tempat yang aman,” ucapnya.

Sebagai pernyataan penutup di akhir webinar, Praptono kemudian menegaskan peran berbagai pihak dalam penerapan kebijakan ini. Ia mengatakan, pencegahan dan penanganan kekerasan tidak cukup menjadi isu satu pihak. Semua pihak, yakni satuan pendidikan, pengawas/penilik, pemerintah daerah, serta lembaga-lembaga yang terkait lainnya harus berkolaborasi. “Sudah saatnya kita memfokuskan perhatian kepada peserta didik. Mari kita ciptakan lingkungan yang membahagiakan dan menyenangkan bagi anak-anak sehingga mereka bisa belajar dan mengembangkan potensi mereka secara maksimal yang kemudian dapat mereka jadikan sebagai kekuatan yang menjadi modal untuk masa depannya,” pungkasnya.

(humas Kemendikbud)
Tags