Oleh: Khairul Amri Ismail
Keputusan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh yang menyatakan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Bustami Hamzah dan Fadhil Rahmi, "Tidak Memenuhi Syarat" (TMS) untuk maju dalam Pilkada 2024, merupakan langkah yang layak dipertanyakan dari perspektif hukum. Berdasarkan kajian terhadap peraturan perundang-undangan, terdapat beberapa ketidaksesuaian yang berpotensi menunjukkan pelanggaran hukum oleh KIP Aceh.
Pertama, keharusan Penandatanganan Surat Pernyataan MoU Helsinki. KIP Aceh mengacu pada Pasal 24 huruf e Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pilkada Aceh dan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 sebagai dasar untuk menilai bahwa Bustami Hamzah belum memenuhi syarat administrasi. Namun dalam hal ini KIP Aceh gagal mematuhi prinsip-prinsip hukum dalam menerapkan aturan.
Pasal 24 huruf e menyatakan bahwa pasangan calon harus menandatangani surat pernyataan MoU Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh di depan lembaga DPR Aceh. Namun, yang menjadi inti masalah adalah bahwa penundaan penandatanganan bukanlah kesalahan dari pasangan calon, melainkan kesalahan administratif dari pihak penyelenggara. Berdasarkan informasi, Bustami Hamzah sudah menghadiri sidang paripurna pada 12 September 2024, namun dilarang menandatangani pernyataan tersebut karena belum ada wakil pengganti yang ditunjuk setelah calon wakilnya meninggal dunia.
KIP Aceh seharusnya menyadari bahwa penundaan ini disebabkan oleh keadaan luar biasa dan bukan kesalahan calon. Secara hukum, Bustami Hamzah telah memenuhi kewajiban kehadirannya pada proses yang diatur. Kegagalan KIP Aceh untuk menjadwalkan ulang proses penandatanganan tidak dapat menjadi dasar untuk menyatakan calon "Tidak Memenuhi Syarat" (TMS).
Kedua, diskriminasi dalam Proses Penundaan Penandatanganan. Keputusan untuk menunda penandatanganan surat pernyataan karena alasan calon wakil belum diganti mungkin ini dapat diterima, tetapi pada kenyataannya KIP tidak menentukan secara jelas dan tepat waktu terkait penandatanganan sebelum berakhirnya masa untuk penandatanganan itu. Ini adalah kesalahan fatal KIP Aceh dalam menjalankan tugas negara. Sikap KIP itu adalah tanpa dasar hukum yang sah, dan telah menciptakan preseden buruk dan menimbulkan pelanggaran terhadap asas "fairness" (keadilan) dalam pemilu.
Maka dapat dipastikan KIP Aceh telah melanggar prinsip asas kesetaraan dan keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam setiap proses pemilihan. Penggunaan dalih administratif tanpa mempertimbangkan kondisi yang dihadapi oleh calon, apalagi jika calon sudah memenuhi seluruh persyaratan, merupakan bentuk diskriminasi yang tidak dapat diterima dalam konteks hukum yang adil dan obyektif.
Ketiga, Pelanggaran Asas Legalitas. Dalam hukum administrasi negara, asas legalitas menyatakan bahwa setiap tindakan badan atau pejabat pemerintahan harus berdasarkan hukum yang sah. Keputusan KIP Aceh untuk menyatakan Bustami-Fadhil "Tidak Memenuhi Syarat" tampaknya tidak memperhatikan hal ini. Pasal 24 huruf e mengatur tentang penandatanganan MoU di depan DPR Aceh, tetapi tidak mengatur secara tegas mengenai konsekuensi dari penundaan yang disebabkan oleh pihak penyelenggara. Oleh karena itu, KIP Aceh tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menjatuhkan keputusan TMS kepada pasangan calon ini.
Jika KIP Aceh berkeras pada keputusan ini, maka mereka dapat dianggap melakukan "ultra vires" bertindak di luar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Hal ini juga bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), seperti asas kepastian hukum dan asas tidak menyalahgunakan kewenangan.
Keempat, Kesalahan dalam Penafsiran Prosedur. Perlu dicatat bahwa Bustami Hamzah dan tim pemenangannya telah menyatakan bahwa seluruh dokumen yang diperlukan telah diserahkan, meskipun penandatanganan formal di depan DPR Aceh belum terlaksana. Jika demikian, tidak ada dasar kuat bagi KIP Aceh untuk menyatakan bahwa pasangan ini tidak memenuhi syarat (TMS). Selain itu, penundaan proses penandatanganan adalah bagian dari tanggung jawab KIP Aceh sebagai penyelenggara pemilu, bukan beban yang harus ditanggung oleh pasangan calon.
Oleh demikian, dapat dipastikan bahwa keputusan KIP Aceh untuk menyatakan pasangan Bustami Hamzah dan Fadhil Rahmi "Tidak Memenuhi Syarat" (TMS) adalah melanggar asas legalitas dan keadilan dalam pemilihan umum. Kesalahan administratif yang terjadi dalam penjadwalan ulang proses penandatanganan pernyataan MoU Helsinki tidak dapat dibebankan kepada calon. Oleh karena itu, keputusan KIP Aceh ini harus segera diproses secara hukum demi menyelamatkan hak konstitusional pasangan calon serta menjaga integritas dan kredibilitas proses pemilu di Aceh.
Pihak terkait, termasuk tim pemenangan Bustami-Fadhil, secara hukum berhak untuk mengajukan keberatan dan menuntut agar KIP Aceh dikenakan sanksi hukum karena KIP Aceh telah melanggar prinsip-prinsip hukum dan keadilan dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu.(*)