Oleh: Saeful Bahri, S.Sos
Barsela24news.com -Belum reda hingar bingar akibat pemilu serentak (pileg dan pilpres) pada 14 februari kemarin, sebentar lagi masyarakat hendak dihadapkan lagi dengan gawe politik yang baru, yaitu Pilkada serentak 2024 pada 27 Nopember mendatang.
Sejak pertama kali pemilu diadakan di Indonesia dari tahun 1955 sampai tahun 2024 ini, tentu banyak sekali mengalami perubahan baik dari aspek kerangka hukum, penyelenggara, tahapan, peserta, teknis pelaksanaan, tantangan maupun pelanggaran-pelanggaran di dalamnya.
Bentuk pelanggaran-pelanggaran dalam pemilu (legislatif maupun eksekutif) ini begitu santer terlihat sejak berlakunya pemilihan langsung era reformasi, dan yang paling banyak menyita perhatian publik adalah perihal politik uang, atau money politic. Meski dinilai lebih demokratis, pemilu di era reformasi ini sangat dipengaruhi oleh politik uang/money politic baik di pemilu tingkat nasional maupun daerah.
Menurut hasil penelitian Burhanuddin Muhtadi dalam Buku Kuasa Uang; Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru, pada pemilu legislatif 2009 hanya 11,2persen responden yang menjadi target pembelian suara, pada pemilu April 2014 meningkat menjadi 29 persen.
Dan pada pemilu tahun 2019, menurut survey yang dilakukan oleh LIPI angka jual beli suara ini meningkat tajam sampai ke angka 40persen, dimana 37%nya mengaku menerima uang sebagai pertimbangan pilihan politiknya, dan ini menempatkan Indonesai sebagai Negara ketiga dengan praktek money politik tertinggi di Dunia. Dan menurut data Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu, 2019), pada pemilu 2019 pelanggaran pidana pemilu tertinggi adalah politik uang.
Adapun untuk pemilu 2024, meskipun belum release secara resmi terkait angka sengketa dan pelanggaran pemilu karena mash ada yang sedang berproses, disinyalir angkanya jauh melebihi pemilu tahun 2019 dan pemilu sebelumnya.
Bercermin pada data penelitian di atas, kemungkinan besar praktik politik uang pada pemilu 2024 lebih besar dan luas, dari segi praktek, pengaruh maupun dampaknya. Bahkan sejumlah kalangan menilai pemilu serentak 2024 kemarin sebagai pemilu paling brutal, dari sisi cost politiknya (baca; biaya politiknya). Money politic sudah bukan lagi hal yang tabu, tapi secara nyata dan terang terangan dipertontonkan sebagai strategi politisi dalam mendulang suara.
Menkopulhukam Mahfud MD bahkan dengan secara glambang menyatakan bahwa politik uang di pemilu 2024 ini merupakan suatau hal yang sangat sulit dihindari karena pendapatan masyarakat Indonesia yang tergolong masih sangat kecil sehingga tetap menunggu moment-moment politik sebagai cara memperoleh pendapatan lain.
Belum hilang dari ingatan, hampir semua calon yang kalah pada pemilu legislatif 2024 kemarin, terlepas dari kekecewaan atas hasil pemilu, mengatakan bahwa penyebab mereka kalah adalah karena factor kalah jumlah uang. Fenomena ini menunjukan bahwa kuasa uang begitu berpengaruh untuk menjadi pemimpin sehingga strategi politik uang akan semakin merajalela, mengingat tingginya permintaan pemilih terhadap politik uang.
Dampak Sistematis Money Politic
Suatu negara yang memilih pemerintahan berbentuk sistem demokrasi, maka penyelenggaraan pemilu merupakan wajah peradaban suatu bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemilu tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk suksesi kekuasaan semata, tetapi juga sebagai cermin bagi peradaban bangsa tersebut.
Artinya, penyelenggaraan pemilu yang baik haruslah mencerminkan nilai-nilai moral dan etika serta kejujuran yang dianut oleh masyarakat suatu bangsa. Sehingga, penyelenggaraan pemilu yang baik akan membantu membangun peradaban yang lebih baik dan lebih bermartabat.
Saya kira kita semua sepakat, baik dari sisi nilai maupun hukum positiv bahwa praktek money politics atau politik uang merupakan suatu bentuk pelanggaran yang dapat membahayakan demokrasi dan merusak kehendak rakyat dalam menentukan pilihannya.
Namun realita yang terjadi di lapangan, dalam setiap penyelenggaraan pemilu sebagian besar peserta/kontestan pemilunya melakukan praktek politik uang dengan berbagai macam bentuknya, karena masyarakat juga sebagai pemilih sebagian besar mensyaratkan hal demikian dalam menentukan pilihan politiknya.
Sehingga peserta politik lain juga mau tidak mau terbawa untuk melakukan praktek yang sama apabila ingin memenangkan kontestasi politik yang kemudian berdampak kepada terjadinya praktek politik uang secara merata baik oleh peserta politik dan masyarakat pemilihnya.
Meskipun sejatinya, praktek politik uang/money politics dalam penyelenggaraan pemilu dapat menciderai demokratisasi bahkan apabila terus dibiarkan berkembang bukan hal yang mustahil akan membunuh demokrasi itu sendiri, merusak sistem politik, menodai fairness proses politik atau lebih jauh lagi invalidasi hasil proses politik.
Hal ini menunjukkan bahwa money politics adalah persoalan serius dalam penyelenggaraan pemilu. Terlebih Indonesia sebagai negara yang memilih pemerintahan berbentuk sistem demokrasi. Di mana Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa.
Apabila praktek money politics seperti dikemukakan di atas terus terjadi dalam penyelenggaraan pemilu, maka penyelenggaraan pemilu yang dikatakan sebagai pesta demokrasi rakyat pada proses pemilu yang tercermin dalam pemberian suara pemilih pada bilik-bilik suara hanyalah cerminan dari demokrasi elit (elite democracy) ketika praktek money politics adalah faktor penentu dibalik termobilisasinya massa pemilih saat pemilu.
Terlebih sebentar lagi -bahkan tahapan sudah mulai berjalan- kita akan menghadapi Pilkada serentak tahun 2024 ini. Sebuah agenda demokrasi yang sangat vital dalam menentukan kualitas para pemimpin daerah kedepannya. Dekatnya jarak antara pemilu legislatif yang baru saja selesai dilaksanakan dengan Pilkada serentak di tahun 2024 ini, banyak pihak kemudian memprediksi pola dan karakter Pilkada nanti akan banyak dipengaruhi oleh pola pemilu legislatif sebelumnya.
Salah satu tujuan utama pergantian sitem pemilihan kepala daerah dari system pemilihan tidak langsung menjadi system pemilihan langsung melalui UU No 32 Tahun 2004 adalah mengedepankan nilai demokrasi dan semangat antikorupsi.
Pemilihan kepala daerah dengan system pemilihan tidak langsung dinilai kurang demokratis dan sarat praktek korupsi yang tersentral di partai politik karena pemilihan hanya diwakilkan oleh anggota legislatif daerah, sehingga harus dirubah ke system pemilihan langsung dimana masyarakat berhak memilih langsung calon kepala daerahnya. Namun tujuan tersebut sepertinya jauh meleset, justru korupsi terlihat makin marak dan makin terbuka.
Pilkada menjadi semakin berat, karena selain harus tetap mengkondisikan partai sebagai syarat pencalonan, juga harus mengkondisikan masyarakat calon pemilihnya yang kemudian menjadi modus terjadinya politik uang. Sehingga biaya politik dalam system pemilihan langsung ini menjadi sangat besar.
Data Litbang Kemendagri menunjukkan, pendanaan pada Pilkada 2015 untuk pasangan calon kepala daerah tingkat kabupaten saja bisa menghabiskan biaya hingga 30 milyar, sementara untuk tingkat provinsi bisa menghabiskan biaya hingga 100 milyar. Biaya diperkirakan meningkat pada Pilkada 2018 karena UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengizinkan calon kepala daerah untuk mendanai bahan kampanye dan alat peraga selain yang sudah dibiayai oleh Negara, dimana sebelumnya calon hanya boleh menggunakan sebatas yang dibiayai oleh negara saja, melalui KPU daerah.
Tingginya biaya Pilkada tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari maraknya praktek politik uang yang terjadi, yang kemudian tentu saja berdampak kepada kualitas kepemimpinan yang cenderung korup. Oleh karena itu perlu kiranya kita sama-sama berjuang menentukan langkah antisipatif untuk membendung praktek politik uang di Pilkada mendatang yang sudah tinggal menghitung hari.
Langkah Antisipasi Fenomena money politic ini memang persoalan yang sangat komplek, banyak hal yang mempengaruhi, mulai dari persoalan ekonomi, degradasi moral maupun kurangnya kesadaran spiritual. Praktek politik uang ini seperti sudah mengakar di hampir semua level pemilihan kita, mulai dari tingkat paling bawah sampai paling atas, bahkan masyarakat sendiri sudah menormalisasi praktek tersebut sebagai sebuah system yang sudah biasa berlaku dalam setiap hajatan politik.
Mirisnya lagi, dalam studi yang dilakukan oleh The Latin American Public Opinion Project (LAPOP), praktek politik uang merupakan budaya normal baru dalam pemilihan umum di Indonesia saat ini. Tapi meski demikian bukan berarti tidak ada jalan keluar untuk mencegahnya, kalaupun tidak bisa dihapus total, setidaknya langkah-langkah pencegahan ini bisa meminimalisir praktik money politik demi terciptanya iklim demokrasi yang sehat dan lahirnya calon pemimpin yang berkualitas di Pilkada mendatang.
Langkah antisipasi ini kami menjadi dua bagian, internal dan eksternal. Internal yaitu menyangkut peserta politik itu sendiri, yaitu peningkatan kompetensi calon kepala daerah itu sendiri. Membangun ideologi, visi misi dan program yang jelas dan terukur. Mensosialisasikan target program prioritas yang massive sesuai dengan situasi daerahnya, menampilkan citra pribadi pemimpin yang berintegritas, taktis dan Smart dalam menyelesaikan persoalan daerah, agar mampu mengambil hati calon pemilihnya. Karena kalau sudah ada ketertarikan, tentu itu sudah cukup sebagai alasan untuk memilih.
Adapun bagian eksternalnya menyangkut pihak kelembagaan terkait, bagaimana meningkatkan peran dan keterlibatan lembaga-lembaga terkait.
Pertama, meningkatkan peran lembaga pendidikan maupun perguruan tinggi dalam pendidikan politik. Lembaga pendidikan bisa menjadi sarana untuk pendidikan moral politik, dan untuk saat ini jumlah pemilih pemula di atas 50persen, hal ini tentu akan menimbulkan harapan baru dalam mewarnai demokrasi kita kedepan.
Kedua, peningkatan peran Organisasi Masyarakat (NGO), khususnya yang bergerak di bidang pemerhati pemilu, dalam hal mengawasi dan membangun kesadaran berpolitik yang sehat di kalangan masyarakat.
Ketiga, peningkatan peran lembaga keagamaan dalam meningkatkan kesadaran spiritual, seperti menyisipkan materi kajian/tausiah yang berkaitan dengan hukum politik uang dengan segala bentuknya.
Keempat, optimalisai peran penyelenggara pemilu, penyelenggara pemilu ada Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dan yang akan sangat berperan adalah Bawaslu, karena dalam hal ini Bawaslu sendiri mempunyai tiga peran sekaligus dalam hal wewenang kepemiluan.
Peran legislative dalam membuat aturan, peran eksekutif dalam hal pengawasan dan pencegahan dan peran yudikatif sekaligus dalam hal penindakan apabila ada pelanggaran. Dengan wewenang tersebut tentu kita berharap Bawaslu bisa maksimal dalam membidik praktek politik uang di Pilkada nanti, salah satunya melalui kampanye dan sosialisasi yang kuat tentang bahaya pelanggaran politik uang maupun tentang sanksi hukumnya baik kepada calon/kontestan maupun kepada masyarakat pemilih.
Dan yang terakhir, memperjelas dan mempertegas sanksi hukum dan sanksi administratif terkait politik uang. Ini sekaligus sebagai efek psikologis untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Karena apapun bentuk reformasi pemilu yang dilakukan, jika tidak ada penegakan hukum yang jelas dan tegas maka semua tidak akan bisa berjalan dengan baik.
Selanjutnya dengan strategi antisipasi dan penanggulangan yang komprehensip ini, diharapkan dapat mengurangi praktek politik uang atau money politic pada Pilkada serentak tahun 2024 ini, sehingga terciptanya iklim demokrasi yang sehat serta mampu melahirkan pemimpin daerah yang berkualitas, berintegritas dan Smart tentunya.
Ketua Umum Gerakan Muda Pembangunan Indonesia (GMPI NTB) dan Anggota DPRD Kabupaten Lombok Timur Fraksi PPP.