Jakarta,- Anggota DPR RI Dede Yusuf mendorong Pemerintah untuk mengevaluasi sistem pos anggaran pendidikan yang selama ini tersebar di beberapa kementerian/lembaga. Menurutnya, anggaran pendidikan semestinya satu pintu di Kementerian Pendidikan demi memaksimalkan kualitas layanan pendidikan, termasuk dalam hal kesejahteraan guru.
"Amanat konstitusi dan juga Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengatakan bahwa anggaran pendidikan itu tidak boleh digunakan untuk kementerian atau lembaga kedinasan atau pendidikan kedinasan. Tapi realitanya Rp 147 triliun masih dipakai untuk pendidikan kedinasan. Padahal anggaran Kemendikbud sendiri hanya Rp 90 triliun. Artinya jomplang," ujar Dede dalam keterangan persnya, Kamis (17/10/2024).
Untuk diketahui, konstitusi mengamanatkan 20% anggaran dari APBN dialokasikan untuk fungsi pendidikan. Namun anggaran yang cukup besar itu disebar ke 20 kementerian/lembaga dan transfer ke daerah.
Jika pos anggaran disatukan dalam satu kementerian yang memang bertugas untuk mengurus tentang pendidikan, menurut Dede, pengawasannya akan lebih terpusat dan terarah. Sehingga jika ada penemuan seperti yang terjadi di tahun lalu yakni anggaran pendidikan tidak terserap maksimal, hal tersebut dapat cepat diatasi.
"Kalau kita mau fokus pada amanat konstitusi, mestinya kita harus fokus kepada pendidikan yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan karena yang mendapatkan amanat itu adalah Kementerian Pendidikan," tegas Dede.
Menurut Dede yang pada periode DPR sebelumnya bertugas di Komisi X dengan bidang kerja soal pendidikan itu, pembenahan sistem penganggaran dapat mengatasi berbagai persoalan yang masih terjadi di sektor pendidikan. Termasuk dalam hal kesejahteraan guru, yang berperan pada kualitas layanan pendidikan bagi anak didik.
“Kalau anggaran pendidikan bisa diatur satu pintu, harapannya setiap unsur di sektor pendidikan bisa dipantau secara terpusat. Misalnya mengenai proses kebutuhan guru dan bagaimana peningkatan kesejahteraan mereka,” sebut Dede.
Kesejahteraan guru di Indonesia memang masih di bawah standar. Merujuk dari laporan IDEAS pada Mei 2024, 74% guru honorer memiliki penghasilan di bawah Rp 2 juta rupiah, serta Rp 13% guru PNS dan 20,5% guru honorer memiliki penghasilan di bawah 500 ribu. Sementara 89% guru merasa penghasilan mereka pas-pasan atau kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Bahkan 55,8% guru dilaporkan memiliki pekerjaan sampingan, serta 79,8% guru memiliki utang. Riset NoLimit juga menunjukan 42% masyarakat yang terjerat pinjaman online (pinjol) ilegal berprofesi sebagai guru. Dede menilai, masalah kesejahteraan guru masih menjadi PR besar pada sistem pendidikan di Indonesia.
“Sebenarnya kan menjadi tugas Negara untuk memastikan para guru yang memiliki tugas mulia mendidik anak bangsa dapat hidup dengan sejahtera,” tuturnya.
Baru-baru ini viral kisah Alvi Noviardi, seorang guru honorer asal Sukabumi yang memulung sepulang mengajar. Memulung menjadi pekerjaan sampingan Alvi selama 36 tahun untuk menutupi kebutuhan hidupnya.
Dede melihat kisah Alvi merupakan cerminan dan tantangan nyata yang dialami oleh ribuan guru honorer di Indonesia. Ia mengatakan, Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan kesejahteraan para guru dapat terwujud, termasuk guru honorer. “Kisah guru Alvi ini menjadi potret buruk penghargaan Negara bagi para tenaga pendidik,” ucap Dede.
“Pemerintah perlu segera meninjau kembali struktur upah bagi guru honorer, serta menetapkan standar minimum yang jelas agar mereka mendapatkan gaji yang sesuai dengan peran penting yang mereka emban," lanjutnya.
Dede berharap, Pemerintah ke depan bisa memperbaiki persoalan kesejahteraan guru. Terutama bagi para guru honorer yang walaupun statusnya merupakan pegawai tenaga harian lepas (THL), tapi pekerjaannya pun sama beratnya dengan guru ASN.
"Guru honorer juga berhak mendapat penghasilan yang layak, jaminan sosial, perlindungan kerja, serta akses yang adil terhadap pelatihan dan pengembangan profesional," kata Dede.
Dede memahami, Pemerintah sudah berusaha memperbaiki sistem perekrutan guru lewat seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). “Tapi kan proses ini juga nggak mudah. Slot yang diberikan tidak mencukupi untuk guru honorer eksisting yang jumlahnya sangat besar itu,” tukasnya.
Dede mengingatkan, faktor kesejahteraan bagi guru berpengaruh terhadap kualitas layanan pendidikan. Sebab hal ini berdampak pada motivasi bagi guru untuk mengajar. "Jangan sampai masa depan penerus bangsa menjadi terdampak akibat kurangnya perhatian Negara terhadap kesejahteraan guru," tegas Dede.
Selain dengan membuat anggaran pendidikan menjadi satu pintu di Kementerian Pendidikan, Dede pun menekankan pentingnya reformasi struktur pendidikan dan redistribusi guru. “Ini bisa mengatasi kesenjangan dalam distribusi guru dengan meredistribusi tenaga pengajar secara merata, terutama ke daerah-daerah terpencil,” urainya.
Lebih lanjut Dede menilai, dana pendidikan juga harus lebih di desentralisasi ke daerah dengan pengawasan ketat untuk memastikan bahwa kesejahteraan guru honorer menjadi prioritas, kendati realitanya masih ada anggaran yang tersebar untuk pendidikan kedinasan.
"Utuk kementerian yang memiliki pendidikan kedinasan, itu bisa menggunakan sistem beasiswa. Jadi ditempatkan di perguruan tinggi-perguruan tinggi, tetapi di berikan beasiswa oleh kementerian atau lembaga lainnya," ujar Legislator Dapil Jawa Barat II itu.
Dengan demikian, menurut Dede, anggaran pendidikan dapat fokus terealisasi untuk menangani berbagai permasalahan yang penting seperti meningkatkan kesejahteraan guru. "Pemerintah harus memperketat pengawasan terhadap lembaga-lembaga pendidikan, terutama di daerah-daerah yang masih sering mengabaikan kesejahteraan guru honorer," harap Dede.
(aha)