Menolak Lupa: Wiji Thukul dan Suara yang Tak Bisa Dibungkam

Barsela24news.com



Jakarta,- Di negeri yang rajin menghapus jejak sejarah, ada satu nama yang tetap bergema meski tubuhnya tak lagi terlihat: Wiji Thukul. Ia bukan sekadar penyair, bukan sekadar aktivis. Ia adalah suara yang terus hidup, bahkan ketika penguasa mencoba membungkamnya.

Sejak menghilang pada 1998, Wiji Thukul seperti bayangan yang terus menghantui sejarah Indonesia. Ia bukan sekadar korban penghilangan paksa, tetapi simbol dari semua orang yang pernah ditindas, dibungkam, dan dipaksa diam. Namun, mereka lupa satu hal: kata-kata tak bisa dibunuh.

Di era ketika banyak orang memilih bungkam demi kenyamanan, Wiji Thukul justru melakukan sebaliknya. Ia berbicara, ia berteriak, ia menulis. Puisi-puisinya bukan sekadar rangkaian kata indah, melainkan peluru yang ditembakkan ke dinding ketidakadilan.

"Jika rakyat pergi, ketika penguasa merayakan pesta, kita akan terus bernyanyi, menyanyikan lagu perlawanan!"

Bait-bait ini bukan sekadar puisi, tapi pesan yang terus hidup, mengingatkan kita bahwa ada masa ketika suara bisa membuat seseorang menghilang.

Sudah lebih dari dua dekade sejak Wiji Thukul menghilang, tapi namanya tetap disebut, puisinya tetap dibacakan, dan semangatnya tetap dirasakan. Sementara para penculiknya mungkin masih hidup bebas, menikmati kemewahan dari sistem yang mereka pertahankan, nama Wiji Thukul justru semakin kuat dalam ingatan rakyat.

Menolak lupa bukan sekadar mengenang Wiji Thukul sebagai individu, tetapi sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Sebab, di negeri ini, sejarah sering kali ditulis oleh mereka yang berkuasa.

Hari ini, Jum'at (23/3/2025) menolak lupa berarti memastikan bahwa suara-suara seperti Wiji Thukul tidak tenggelam. Itu berarti melawan setiap upaya pembungkaman, dari revisi sejarah yang manipulatif hingga intimidasi terhadap mereka yang berani berbicara.

Karena jika kita membiarkan sosok seperti Wiji Thukul lenyap dari ingatan, kita membiarkan ketidakadilan menang.

Di negeri di mana demokrasi katanya dijunjung tinggi, ada seorang penyair yang suaranya justru dianggap terlalu berisik. Namanya Wiji Thukul, seorang pria sederhana dari Solo yang lebih memilih menulis puisi ketimbang merangkai janji kosong seperti para elite politik. Bedanya, puisi-puisinya masih terus bergema, sementara janji-janji para pemimpin hanya bertahan seumur jagung—atau bahkan lebih singkat dari masa jabatan mereka.

"Bersuara Itu Berbahaya, Bung!"

Indonesia memang negeri yang unik. Di sini, kalau bicara terlalu keras tentang ketidakadilan, bisa tiba-tiba lenyap. Tapi kalau bicara terlalu keras soal dukungan ke pejabat, malah bisa dapat jabatan. Wiji Thukul memilih yang pertama—bersuara untuk rakyat kecil, buruh, petani, dan mereka yang dipinggirkan.

Puisi-puisinya seperti "Peringatan" dan "Bunga dan Tembok" bukan sekadar kumpulan kata, tapi cambuk bagi penguasa. Sayangnya, rezim saat itu tak suka dicambuk, mereka lebih suka menghilangkan pencambuknya. Maka sejak 1998, Wiji Thukul tak pernah terlihat lagi.

Tapi yang lebih ironis, meski dia hilang, suaranya tetap nyaring. Sementara banyak politisi yang masih hidup, tapi kata-katanya kosong melompong.

Coba kita lihat fenomena hari ini. Setiap musim pemilu, selalu ada pesta janji. "Akan menghapus kemiskinan!"—tapi rakyat masih makan nasi dengan garam. "Akan menegakkan keadilan!"—tapi hukum tetap tajam ke bawah, tumpul ke atas. Para pemimpin ini mungkin perlu belajar dari Wiji Thukul: kalau berbicara, setidaknya harus punya nyawa.

Sebab ironisnya, puisi-puisi Thukul yang katanya hanya "sekumpulan kata", justru lebih hidup dibanding janji-janji politik yang lahir mati dalam hitungan bulan.

Banyak orang masih bertanya-tanya, di mana Wiji Thukul? Jawaban terbaik mungkin bukan "di mana", tapi "di siapa".

Ia ada di setiap suara yang menolak tunduk. Ada di setiap rakyat yang berani berkata "tidak" pada penindasan. Ada di mereka yang sadar bahwa demokrasi bukan sekadar pemilu lima tahunan, tapi keberanian untuk bersuara setiap saat.

Maka meskipun fisiknya lenyap, Wiji Thukul justru lebih nyata daripada para pejabat yang wajahnya ada di baliho, tapi keberadaannya tak terasa di kehidupan rakyat.

Dan ingat, seperti yang ia tulis sendiri:

"Apabila suara dibungkam, kritik dilarang, maka hanya ada satu kata: LAWAN!" (Red)