Oleh : Aditya Pratama
Mataram, NTB - Di awal tahun 2025, presiden Prabowo Subianto mengeluarkan instruksi mengubah cara pemerintah dalam mengelola anggaran. Intruksi presiden No 1 tahun 2025 ini adalah sebagai bentuk langkah konkret untuk memastikan efesiensi belanja dalam pelaksanaan APBN hingga APBD.
Tak hanya berlaku di tataran kementerian presiden juga mengamatkan ke seluruh pemerintah daerah tingkat provinsi maupun kota/kabupaten untuk menyesuaikan langkah kebijakan ini secara nyata bahkan beberapa pos belanja harus di kurangi hingga 90%.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh presiden prabowo ini menegaskan komitmen pemerintah dalam mengatur jalur sebaik-baiknya penggunaan keuangan negara secara lebih efektif, efesiensi dan tepat sasaran.
Di tengah-tengah kebijakan penghematan yang begitu signifikan tak hanya menerangi pelita harapan-harapan kecil yang nyaris mati di tengah masyarakat, harapan itu kembali hadir agar kiranya pengelolaan belanja negara dapat memberikan manfaat maksimal bagi keberlangsungan hidup masyarakat khususnya provinsi NTB yang masih bergantung pada transfer anggaran dari pusat.
Namun di sisi lain gubernur NTB yang saja baru-baru di lantik pada tgl 20 February 2025 kemrin mengeluarkan statement untuk pembentukan Tim Gubernur Percepatan Pembangunan Daerah (TGP2D) sebagai langkah-langkah pelaksanaan percepatan program pembangunan NTB di masa kepemimpinan Dr. Muhammad Ikbal, S.IP, M.Si & Indah Damayanti, SE, M.Ip sebagai wakil gubernur NTB.
Dengan adanya kebijakan pembentukan tim khusus untuk monitoring dan evaluasi program-program prioritas berjalan sesuai RPJMD atau tidak di saat anggaran berjalan normal baik-baik saja, namun jika mengancu pada Pergub NTB No 4 tahun 2017 pasal 18 dan 19 bahwa TGP2D sistem pengalokasian anggaran sumber dari APBD, artinya adanya tim percepatan ini memiliki pos anggaran sendiri, hemat penulis justru langkah ini adalah pemborosan anggaran bukan efisiensi.
Efisiensi atau perampingan anggaran yang di maksud seperti ungkapan presiden Prabowo adalah mengurangi pembiayaan negara pada hal-hal yang tidak berdampak langsung pada masyarakat, mestinya pak gubernur NTB tak mesti mengadakan TGP2D sebagai ruang formal yang dapat membebani APBD, bisa saja di mungkinkan adanya TGP2D menghambat efektivitas belanja daerah dalam merealisasikan program-program strategis NTB makmur mendunia karena ketersediaan anggaran minim.
Keberadaan Tim Gubernur umumnya kerap menjadi persoalan ketika dihadapkan pada masalah penganggaran dan sejumlah fasilitas pendukung yang harus dipenuhi untuk menunjang kegiatannya. Dalam konteks ini sering timbul kesalah pahaman terkait posisi dan nomenklatur penganggaran yang mengaturnya, khususnya terkait dengan kebutuhan Gubernur terhadap para ahli saat menyusun bersama DPRD.
Meskipun Pergub NTB telah mengatur pembiayaan operasional hingga gaji dibebankan melalui APBD, namun masalahnya pengalokasiannya masih menimbulkan persoalan, apakah melalui Bappeda ataukah Biro Administrasi Sekretariat Daerah? Bahkan bila perlu gubernur harus mencari mata anggaran lain jika itu betul-betul dibutuhkan agar tidak membebani APBD.
Umumnya kepala daerah sering menggunakan anggaran daerah, maka TGP2D juga kinerjanya harus transparan untuk kepentingan kemajuan pembangunan daerah dan dapat di pertanggung jawabkan sebagai bentuk akuntabilitas publik. Ini untuk menghindari kesan TGP2D sekedar menampung tokoh-tokoh lokal atau sebagai upaya memberikan ruang dan balas budi orang-orang yang pernah dianggap berjasa pasca pilkada NTB. (*)