Permohonan Praperadilan Haji Masrah Alias Amaq Nas Mengguncang Polres Lombok Tengah Terkait Dugaan Pemalsuan

Barsela24news.com



Praya, Lombok Tengah - Sebuah permohonan praperadilan yang diajukan oleh Haji Masrah Alias Amaq Nas terhadap penetapannya sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana pemalsuan sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Kepolisian Resort (Polres) Lombok Tengah, kini menjadi sorotan.

Permohonan yang dilayangkan melalui kuasa hukumnya, Fathul Khairul Anam, S.H., M.H & Partners, terdaftar di Pengadilan Negeri Praya dengan tujuan untuk menguji keabsahan penetapan tersangka tersebut.

Dalam berkas permohonan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Praya, tim kuasa hukum Pemohon mengungkapkan sejumlah kejanggalan dan ketidaksesuaian dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Polres Lombok Tengah.

Fathul Khairul Anam, S.H., M.H., salah satu kuasa hukum Haji Masrah, menyatakan bahwa tindakan penetapan tersangka terhadap kliennya terindikasi kuat melanggar prosedur hukum yang berlaku.

"Kami menemukan sejumlah fakta yang menunjukkan adanya ketidakjelasan dan cacat formil dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Termohon (Kapolri Cq. Kapolda NTB Cq. Kapolres Lombok Tengah)," ujar Fathul Khairul Anam dalam berkas permohonannya, Jumat (22/3/2025) yang lalu.

Salah satu poin krusial yang diangkat oleh tim kuasa hukum adalah adanya ketidakjelasan dasar Surat Perintah Penyidikan (Sprindik). Mereka menemukan dua nomor dan bulan yang berbeda dalam dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh Termohon.

Pada Surat Panggilan Tersangka pertama tertanggal 13 Januari 2025, tercantum nomor Sprindik SP. Sidik/15.a/III/RES.1.9/2025/Reskrim, sementara pada Surat Ketetapan Tersangka dengan tanggal yang sama, nomor Sprindik yang tertera adalah SP.Sidik/15.a/I/RES.1.9/2025/Reskrim.

"Ketidakjelasan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai landasan hukum yang sebenarnya digunakan oleh penyidik dalam menetapkan Haji Masrah sebagai tersangka. Kami meragukan keabsahan penyidikan yang mendasari penetapan tersangka ini," tegas Ahmad Mujaddid Islam, S.H., anggota tim kuasa hukum lainnya.

Selain itu, tim kuasa hukum juga menyoroti ketidakjelasan dasar laporan polisi yang digunakan sebagai pijakan penyidikan. 

Mereka mempertanyakan apakah penyidikan ini didasarkan pada laporan pengaduan dari saudara Makmun pada tanggal 11 November 2023 atau Laporan Polisi Nomor: LP/ B/ 348/ XII/ 2024/ SPKT/ Polres Lombok Tengah/ Polda Nusa Tenggara Barat tertanggal 30 Desember 2024, yang keduanya dicantumkan dalam surat panggilan tersangka dan ketetapan tersangka.

Poin penting lain yang diungkapkan adalah terkait dugaan penyitaan barang bukti berupa surat keterangan jual beli tertanggal 14 Juli 1980 milik Pemohon yang dilakukan tanpa prosedur hukum yang sah.

Kuasa hukum Pemohon menyatakan bahwa Termohon tidak pernah mengeluarkan surat perintah penyitaan maupun membuat berita acara penyitaan atas barang bukti tersebut.

"Menurut hukum acara pidana, penyitaan harus dilakukan berdasarkan surat perintah dan dibuatkan berita acara. Fakta bahwa klien kami menyerahkan surat tersebut atas permintaan penyidik tidak serta merta melegalkan tindakan penyitaan yang tidak sesuai prosedur," jelas Fathul Khairul Anam.

Lebih lanjut, tim kuasa hukum Haji Masrah meragukan terpenuhinya dua alat bukti yang sah untuk menetapkan kliennya sebagai tersangka.

Mereka berpendapat bahwa penetapan tersangka hanya didasarkan pada keterangan pelapor, satu keterangan ahli hukum, dan satu dokumen, tanpa adanya saksi fakta yang mendukung dan tanpa didahului uji forensik terhadap dokumen dan tanda tangan dalam surat yang dipermasalahkan.

"Jika yang dipermasalahkan adalah keaslian tanda tangan, seharusnya penyidik melakukan uji forensik. Tanpa adanya uji forensik, bagaimana mungkin Termohon dapat menyimpulkan bahwa surat tersebut palsu? Klien kami merasa penetapan tersangka ini dipaksakan tanpa adanya bukti yang kuat dan valid," imbuh Ahmad Mujaddid Islam.

Dalam petitum permohonannya, tim kuasa hukum Haji Masrah meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Praya untuk menyatakan bahwa Surat Perintah Penyidikan dan penetapan tersangka adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Mereka juga meminta pemulihan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya, serta menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara.

Upaya praperadilan ini, sebagaimana ditegaskan oleh Fathul Khairul Anam, semata-mata bertujuan untuk mencari kebenaran hukum dan sebagai bentuk pengawasan horizontal terhadap tindakan aparat penegak hukum agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

"Kami berharap Yang Mulia Hakim dapat menegakkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi klien kami. Forum praperadilan ini adalah mekanisme yang transparan dan akuntabel untuk menguji keabsahan tindakan penyidik," pungkasnya.

Sidang praperadilan ini diharapkan akan menjadi babak baru dalam penanganan kasus dugaan pemalsuan ini, dengan menyoroti pentingnya penegakan hukum yang sesuai dengan prosedur dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Masyarakat menantikan putusan Pengadilan Negeri Praya yang diharapkan dapat memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. (*)